Wednesday, 23 July 2014

Samarinda Miniatur Budaya Indonesia



Kalau kita berbicara tentang budaya samarinda, maka kita tidak bisa lepas dari sejarah kota Samarinda itu sendiri. Kota yang bisa dibilang sebagai miniatur budaya Indonesia karena hampir semua budaya dan suku di seluruh Indonesia berbaur dan menjadi satu dikota Samarinda ini. Mulai dari ujung Banda aceh sampe tanah Papua pasti bisa ditemukan disini, meskipun sebagian besar masih didominasi oleh suku bugis, banjar dan jawa tentunya tanpa mengasingkan suku asli Kalimantan itu sendiri yaitu kutai dan dayak.
Menurut sejarah terbentuknya kota samarinda, peran para pendatangpun mengambil peran sangat besar dalam terbentuknya kota samarinda itu sendiri. Dan hingga kinipun peran pendatang mempunyai peran dalam pertumbuhan perekonomian kota samarinda.
Yaitu rombongan orang-orang bugis wajo yang dipimpin la mohang daeng mangkona (Pua ado)yang hijrah dari kesultanan gowa ke kesultanan kutai pada 1668. Hijrahnya mereka dikarenakan mereka tidak mau tunduk dan patuh terhadap perjanjian bongaya,yaitu perjanjian yang sebenarnya merupakan deklarasi kekalahan kesultanan gowa dari VOC (Penjajah Belanda). 
Kedatangan rombongan orang-orang bugis wajo dari kerajaan gowa ini pun disambut baik oleh kesultanan kerajaan kutai  dengan syarat bahwa orang-orang bugis wajo wajib membantu segala kepentingan raja kutai, terutama dalam menghadapi musuh.
Atas kesepakatan dari perjanjian itulah akhirnya rombongan bugis wajo akhirnya menempati daerah sekitar muara karang mumus.
Kisaran tahun 1668 La mohang daeng mangkona bersama pengikutnya diperintahkan oleh kerajaan kutai untuk membuka suatu perkampungan di tanah rendah. Hal ini dikarenakan seringnya  terjadi perampokan yang dilakukan oleh para bajak laut philipina di berbagai daerah pantai wilayah kerajaan kutai kartanegara. Selain itu, sultan yang dikenal bijaksana ini memang bermaksud memberikan tempat bagi masyarakat Bugis yang mencari suaka ke Kutai akibat peperangan didaerah asal mereka. Perkampunga itupun deberi nama Sama Rendah. Hal ini dimaksudkan agar semua penduduk baik asli maupun pendatang, baik bangsawan ataupun tidak  semuanya tetap berderajat sama dan tidak ada perbedaan baik suku bugis, kutai, banjar dan suku suku lainya.
Dengan rumah rakit yang berada di atas air, harus sama tinggi antara rumah satu dengan yang lainnya, melambangkan tidak ada perbedaan derajat apakah bangsawan atau tidak, semua "sama" derajatnya dengan lokasi yang berada di sekitar muara sungai yang berulak dan di kiri kanan sungai daratan atau "rendah". Diperkirakan dari istilah inilah lokasi pemukiman baru tersebut dinamakan Samarenda atau lama-kelamaan ejaan Samarinda. Istilah atau nama itu memang sesuai dengan keadaan lahan atau lokasi yang terdiri atas dataran rendah dan daerah persawahan yang subur.
Dilihat dari segi sejarah bisa dibilang kebudayaan  Samarin
da adalah kebudaya'an yang unik. Unik karena hampir semua kebudayaan dari seluruh Indonesia berbaur dan menjadi satu disini, mulai dari Bugis, Banjar, Jawa, dan masih banyak lagi yang mungkin susah untuk disebutkan satu persatu. Meskipun begitu kita tetap dapat melihat kebudaya'an asli seperti kebudaya'an dayak yang dapat ditemui di desa budaya pampang.
Samarinda adalah kota yang ramah, itu bisa dilihat dari sejarah tentang Kesultanan kutai yang menyambut dengan ramah para pendatang dari rombongan bugis wajo dan juga pendatang yang lain semisal Suku banjar dan juga Jawa. Tidak heran banyak budaya dari berbagai penjuru nusantara yang tumbuh dan berbaur disini tanpa mengasingkan kebudaya'an khas Samarinda itu sendiri. Maka wajar bila saya menyebut Samarinda adalah miniatur budaya indonesia.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...